Keduamacam tauhid ini berisikan pengetahuan (ilmu) tentang Allah, dengan demikian tauhid jenis ini hakekatnya adalah ilmu. 2. Tujuan hidup kedua. Allah Ta'ala berfirman, {ŮŮŮ
Ůا ŘŽŮŮŮŮŮت٠اŮŮŘŹŮŮŮŮ ŮŮاŮŮŘĽŮŮŮس٠ؼŮŮŮŮا ŮŮŮŮŘšŮبŮŘŻŮŮŮŮ} "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
Link Download contoh makalah tauhid MAâRIFATULLAH & MAâRIFATURASUL Dosen Pengampu Dr. Ela Hodijah N, S. Ag., M. Pd. I. MAKALAH Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Ilmu tauhid Oleh Kelompok 2 Rifa Rahmatul Karimah Oni Setiawan Selina Karentina SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM UNSAP SUMEDANG JAWA BARAT 2021 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelsaikan Makalah yang berjudul â MAâRIFATULLAH & MAâRIFATURASUL â ini adalah untuk mengetahui konsep mengenal allah dan rasul. Tujuan selanjutnya yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu tauhid yang merupakan salah satu mata kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Sumedang Prodi Agama Islam. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang terlibat yang memberikan dukungan moril maupun materil sehingga makalah marifatullah dan marifaturasul ini dapat diselesaikan dengan baik. Meskipun telah berusaha menyelesaikan makalah dengan sebaik mungkin, penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah tentang marifatullah dan marifaturasul ini berguna bagi para pembaca dan semua pihak yang berkepentingan. Sumedang, 03 September 2021 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan BAB II PEMBAHASAN Maârifatullah Maârifatur Rosul BAB III PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Maârifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qurâan dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw. Kata maârifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-Qurâan memang tidak ditemukan secara harfiah. Akan tetapi dapat digali makna maârifat yang menjadi inti kesufian dari subtansi berbagai pesan dalam al-Qurâan. Kata yang berakar dari arafa dalam keseluruhan al-Qurâan disebutkan sebanyak 71 Dari 71 kali penyebutan itulah dapat diketahui bahwa maârifat dalam term al-Qurâan memiliki banyak arti mengetahui, mengenal, sangat akrab, hubungan yang patut, hubungan yang baik, dan pengenalan berdasarkan pengetahuan mendalam. Maka jika semua pengertian itu dihimpun dalam satu pengertian, maârifat menurut subtansi al-Qurâan memiliki maksud sebagai pengenalan yang baik serta mendalam berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh dan rinci. Sebagai buah dari hubungan yang sangat dekat dan baik. Maârifat merupakan pengetahuan eksperensial z\auqi yang disuntikan infused sangat berbeda dengan pengetahuan lainnya yang biasa didapatkan melalui metode rasional diskursif. Ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol-simbol dari objek-objek penelitian. Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, demikian juga hati atau intuisi menangkap objeknya juga secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indra adalah benda-benda yang bersifat indrawi sedangkan objekobjek intuisi adalah entitas-entitas spiritual. Dalam kedua modus pengetahuan ini manusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan kerena itu maârifat disebut dengan ilmu eksperensial, yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar. Rumusan Masalah 1. Jelaskan hal-hal mengenai Maârifatulloh? 2. Jelaskan hal- hal mengenai Maârifatul Rosul Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui konsep Maârifatulloh 2. Untuk mengetahui konsep Maârifatul Rosul BAB II PEMBAHASAN Maârifatullah Maârifatullah mengenal Allah bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas. Segelas susu yang dibuat seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu. Menurut Ibn Al Qayyim Maârifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul maârifah orang-orang yang mengenali Allah adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannyaâ. Maârifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun maâriaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. 1. Ciri ciri dalam maârifatullah Seseorang dianggap maârifatullah mengenal Allah jika ia telah mengenali, a. Asma Allah b. Sifat Allah, dan c. afâal perbuatan Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam. Mengenal Alloh merupakan perkara fitrah bagi semua manusia yang berada didunia ini. Ilmu tentang mengenal Alloh merupakan ilmu yang paling agung dan mulia. Tak ada ilmu yang sebanding dan setara dengannya. Ia merupakan pondasi dan dasar segala ilmu. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, âKemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang dipelajarinya.â. Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana tiada ilah sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam. Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh , dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya ia akan lebih jahil terhadap yang selainnya 2. Hakikat Maârifatullah Ibnul Qoyyim berkata, âMengenal Alloh ada dua macam; a. maârifatu iqrar mengenal Alloh dalam bentuk pengakuan. Hal ini terjadi pada semua manusia, baik orang yang berbuat baik dan jahat ataupun orang yang taat dan bermaksiat. b. mengenal Alloh yang mengandung konsekuensi tumbuhnya rasa malu,cinta, keterkaitan hati, kerinduan jiwa, rasa takut, kembali, dan lari dari mahlukmenuju kepada-Nya. 3. Bentuk Maârifatullah Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan manusia yang mengenal Alloh dalam dua kategori a. Kategori pertama adalah manusia secara umum, baik orang yang memiliki akidah dan moralitas yang lurus ataupun maârifat kepada Alloh semacam ini merupakan tingkatan dasar. Sehingga, tidak menghantarkan manusia untuk mewujudkan peribadatan kepada Alloh secara sempurna dan totalitas. b. Kategori kedua adalah manusia secara khusus, yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Alloh . Mereka mengenalAlloh dengan sebenar-benarnya. Dengan demikian, mampumelahirkan amal peribadatan hati dan anggota badannya. Merekamengenal Alloh bahwa Dia-lah Dzat yang menyiksa dengan siksaanyang pedih. Oleh karena itu, mereka takut untuk berbuat maksiatkepada-Nya sedikitpun. Apabila ada keinginan dan tekad untuk berbuat maksiat, maka mereka segera mengingat Alloh dan segera beristigfar serta bertaubat kepada-Nya. 4. Urgensi Maârifatullah a. Maârifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan Hidup manusia selanjutnya. Karena maârifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan maârifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain binatang ternak. b. Maârifatullah adalah asas landasan perjalanan ruhiyyah spiritual manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan Nabi Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidakterdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukurâ Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya. c. Dari Maârifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dari rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah. d. Dari Maârifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh. e. Dari Maârifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah alamkubur dan kehidupan akherat 5. Sarana Maârifatullah a. Akal sehat Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qurâan yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk ciptaanterhadap pengenalan al Khaliq pencipta seperti firman Allah Katakanlan âPerhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.â QS 10101, atau QS 3 190-191. Sabda Nabi âBerfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampuâ HR. Abu Nuâaim. b. Para rasul Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas- jelasnya tentang maârifatullah dan konsekuensi -konsekuensinya. Merekainilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah ; âSesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..â c. Mengenali asma nama dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Maârifatur Rosul Pengertian Maârifatur rasul yaitu mengetahui bahwasanya Muhammad adalah rasul Allah; penyampai ajaran dari Allah, beliau jujur benar di dalam menyampaikan ajarannya baik dalam masalah Iijab mewajibkan suatu perkara,Tahrim mengharamkan suatu perkara dan dalam mengabarkan tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan yang akan terjadi di masa mendatang di dunia, dialam barzakh dan alam akherat. 1. Ciri-ciri Rasulullah a. Memiliki sifat-sifat asasiyah. Sifat asasiyah ini terdiri dari sidiq, amanah, tablighdan fathanah. Sifat ini harus dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban ataumembawa risalah dari Allah SWT. b. Memiliki muâjizat. Salah satu contohnya adalah muâjizat Rasulullah SAW ketika membelah bulan. Allah berfirman dalam QS. 54 1 â 2 âTelah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka orang-orangmusyrikin melihat sesuatu tanda mu`jizat, mereka berpaling dan berkata âIniadalah sihir yang terus menerusâ. c. Berita kedatanganya d. Berita kenabian. Setiap rasul senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajakumatnya ke jalan yang baik. Perihal kerasulan mereka pun Allah al-Qurâan Allah berfirman QS. 7 158 e. Adanya hasil dari daâwah yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat, pada hasil f. daâwah Rasulullah SAW yang dari segi kualitas, mereka memiliki keimanan yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga. Kemudian dari segi kuantitas, jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar ke seluruh pelosok jazirah Arab, bahkan melewati jazirah Arab. 2. Sifat-sifat Rasulullah a. Manusia sempurna Qs 1411 b. Terpelihara dari kesalahan Qs 5 67 c. Benar Qs 53 3-4 d. Cerdas Qs 48 27 e. Amanah Qs 69 44-46 f. Menyampaikan Qs 5 67 3. Hikmah Mempelajari Sirah Nabawiyah sarana Marifatullah Dalam konteks diri kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw, maka setiap kita tentu saja harus mengenal beliau agar kita bisa meneladaninya, tapi upaya mengenal ini bukanlah sekedar mempelajarinya secara kronologis dari sebelum lahir hingga wafatnya, tapi juga harus dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang terjadi, inilah hakikatnya memahami sirah Nabawiyah. Secara umum manfaat yang bisa kita petik hikmahnya dalam mengkaji dan memahami sirah nabawiyah, adalah a. Memahami pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah fahmu syakhshiyah ar-rasul. Dengan mengkaji sirah kita dapat memahami celah kehidupan Rasulullah individu maupun sebagai utusan Allah swt. Sehingga, kita tidak kelirumengenal pribadinya sebagaimana kaum orientalis memandang pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai pribadi manusia biasa. âHai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.â Al-Ahzab 45-47. b. Mengetahui contoh teladan terbaik dalam menjalani kehidupan ini maârifatush shurati lil mutsulil aâla. Contoh teladan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini sebagai patokan atau model ideal. Model hidup tersebut akan mudah kita dapati dalam kajian sirah nabawiyah yang menguraikan kepribadian Rasulullah saw. Yang penuh pesona dalam semua sisi. âSesungguhnya telah ada pada diri Rasulullahitu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah .â Al-Ahzab 21. c. Dapat memahami turunnya ayat-ayat Allah swt. al-f ahmu an-nuzuli aayatillah Mengkaji sirah dapat membantu kita untuk memahami kronologis ayat-ayatyang diturunkan Allah swt. Karena, banyak ayat baru dapat kita mengerti maksudnya setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami Rasulullah saw. atau sikap Rasulullah atas sebuah kejadian. Melalui kajian sirah nabawiyah itu kita dapat menyelami maksud dan suasana saat diturunkan suatu ayat. d. Memahami metodologi dakwah dan tarbiyah fahmu uslubid daâwah wat -tarbiyah. Kajian sirah juga dapat memperkaya pemahaman dan pengetahuan tentang metodologi pembinaan dan dakwah yang sangat berguna bagi para saw. dalam hidupnya telah berhasil mengarahkan manusia memperoleh kejayaan dengan metode yang beragam yang dapat dipakai dalam rumusan dakwah dan tarbiyah. e. Mengetahui peradaban umat Islam masa lalu maârifatul hadharatil islamiyatil madliyah. Sirah nabawiyah juga dapat menambah khazanah tsaqafah Islamiyah tentang peradaban masa lalu kaum muslimin dalam berbagai aspek. Sebagai gambaran konkret dari sejumlah prinsip dasar Islam yang pernah dialami generasi masa lalu. f. Menambah keimanan dan komitmen pada ajaran Islam tazwidul iman walintimaâi lil islam. Sebagai salah satu ilmu Islam, diharapkan kajian sirah ini dapat menambah kualitas iman. Dengan mempelajari secara intens perjalanan hidup Rasulullah,diharapkan keyakinan dan komitmen akan nilai-nilai islam orang-orang yang mempelajarinya semakin kuat. Bahkan, mereka mau mengikuti jejak dakwah Rasulullah SAW. BAB III PENUTUP Kesimpulan Marifatullah adalah suatu konsep agar dapat mengenal Allah melalui sarana yang telah allah berikan kepada manusia dan merupakan ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Marifaturasul adalah suatu konsep untuk mengenal rasul mulai dari asal, tugas dan tujuan diciptakan rasul, sifat-sifatnya sehingga umatnya dapat mengenal lebih dalam dan dapat menjadikan rasul itu sebagai uswah dan contoh manusia terbaik dalam beribadah kepada Allah. Saran Pembahasan mengenai marifatullah dan marifaturasul sebaiknya harus dikaji lebih dalam lagi, karena sedikit sekali sumber yang dapat kami terima. Saran dari kelompok kami kepada dosen pengampu Mata kuliah ilmu tauhid untuk dapat menjelaskan secara detail. DAFTAR PUSTAKA Abdullah. âMaqamat Makrifat Hasan Al Basri dan Algazali.â Al-Fikr 2016. Affandi, C. La Tahzan Innallaha Maâana Bersama Allah di Setiap Tempat dan Waktu. Bandung PT. Mizan Pustaka, 2007. Al-Jailani, S. A. Al-Tashawwuf dalam Al-Gunyah Lithalibi. Edited by J. Rofarif and A. Irawan. Jakarta Zaman, 2012. Amin, S. M. Ilmu Tasawuf. Edited by A. Zirzis and N. Laily. Jakarta Amzah, 2012. Arsyad, A. Media Pembelajaran. Jakarta Rajawali Pers, 2011. B, Muhammad Rusmin. âKonsep dan Tujuan Pendidikan Islam.â Jurnal Taklim 06, no. 01 200472â80.
KajianTentang "Ma'rifatullah" Radio Rodja | Kamis, 08 September 2016 Tak Kenal Maka Tak Sayang - Bagian ke-3 (Ustadz Abdullah Zaen, M.A.) (Bagian ke-1)" adalah sebuah ceramah tentang mengenal Allah dan urgensinya, yang Radio Rodja | Sabtu, 16 Juli 2016
ArticlePDF Available AbstractMaârifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslimâs faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesnât have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of maârifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Maârifatullah. Mentioned here toward Maârifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Maârifatullah means convincing âknowledgeâ. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nĂťr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someoneâs sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that maârifatullah is âlooking at Allahâs faceâ. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Studia Insania, April 2016, Vol. 4, No. 1 ISSN 2088-6303 MENUJU MAâRIFATULLAH Menyelami Samudera Sufisme Imam al-Ghazali Asmaran As Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Diterima tanggal 3 Januari 2016 / Disetujui tanggal 15 Maret 2016 Abstract Maârifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslimâs faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesnât have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of maârifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Maârifatullah. Mentioned here toward Maârifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Maârifatullah means convincing âknowledgeâ. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nĂťr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someoneâs sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that maârifatullah is âlooking at Allahâs faceâ. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Kata kunci Sufisme, Maârifah, Nur, Mukasyafah Pendahuluan AbĂť al-Wafââ al-GhanĂŽmĂŽ al-TaftâzânĂŽ mengatakan bahwa orang yang pertama membicarakan soal makrifah maârifah ialah MaârĂťf al-KarkhĂŽ H/815 M. Namun yang paling menonjol karena pembahasannya secara teoretis dan rinci ialah ZĂť al-NĂťn al-MishrĂŽ H/861 M; dan dari dialah kaum sufi sesudahnya sering menimba ataupun menisbahkan teori tersebut. Boleh jadi, karena itulah dia dipandang sebagai bapak paham makrifah ZĂť al-NĂťn al-MisrĂŽ, ada tiga macam makrifah, yaitu 1 makrifah orang awam, 2 makrifah para mutakallimin dan filosof, dan 3 makrifah para awliyââ dan muqarrabin. Yang pertama adalah mengenal keesaan Allah dengan perantaraan ucapan syahadat, yang kedua ialah mengenal keesaan Allah dengan sarana logika dan penalaran, dan yang ketiga adalah mengenal keesaan Allah dengan hati sanubari atau makrifah dalam arti pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu âilm, bukan makrifah maârifah. Makrifah dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan; dan inilah yang disebut makrifah. Makrifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan kalbu mereka. Makrifah seperti ini hanya diberikan AbĂť al-Wafâ al-TaftâzânĂŽ, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-IslâmĂŽ Cairo Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibââah wa al-Nasyr, 1979, 100. AbĂť al-Wafâ al-TaftâzânĂŽ, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-IslâmĂŽ, 100. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam Jakarta Bulan Bintang, 1973, 76. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76. Studia Insania Vol. 4, No. 1 Tuhan kepada kaum sufi. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam kalbu seorang sufi, sehingga kalbunya penuh dengan cahaya. Ketika ZĂť al-NĂťn ditanya bagaimana dia memperoleh makrifah tentang Tuhan, dia mengatakan "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan kenal Tuhanku." Hal ini berarti bahwa makrifah bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Jadi makrifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup hubungan ini âAlĂŽ âAbd al-AzĂŽm mengatakan "Kaum sufi sepakat bahwa makrifah yang hakiki hanya didapat melalui hati sanubari yang menerima ilhâm al-bashĂŽrah al-mulhamah, bukan melalui akal ataupun indera." Perlu pula dicatat, Reynold A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam dengan tegas mengatakan, bahwa Walau secara umum pengetahuan disebut dengan âilm, tetapi pengetahuan menurut orang sufi, secara khusus disebut dengan maârifah atau irfân. Seperti yang pemah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa secara mendasar ma'rifah berbeda dengan âilm, sehingga diperlukan kata lain untuk menerjemahkannya. Dan mungkin kita tidak akan sempat mencari padanannya yang sesuai. Maârifah dalam pengertian sufisme adalah 'gnosis' dari teosofi Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu atau penyingkapan kasyf. la bukan hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang diberikanNya sebagai rahmatNya kepada mereka yang memang sudah Dia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Inilah seberkas sinar Ilahi yang menyelinap ke dalam kalbu dan menyinari seluruh bagian tubuh dengan sorotan sinamya yang al-GhazâlĂŽ H./1111 M. dengan para sufi sebelumnya, kata al-TaftâdzânĂŽ, adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah maârifatullah, yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sebagaimana halnya para sufi sebelumnya, al-GhazâlĂŽ pun memandang makrifah sebagai tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang sekaligus merupakan kesempumaan tertinggi dimana di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode menuju maârifatullah menurut Imam al-Ghazali ini, berikut perlu diuraikan tentang pengertian makrifah, tingkat-tingkat makrifah dan makrifah sebagai ilmu makâsyafah. Pengertian Makrifah Kata makrifah maârifah berasal dari kata kerja âa-r-f Ůعؚ yang berarti mengenal atau mengetahui. Di dalam kitabnya Raudhah al-ThalibĂŽn, al-GhazâlĂŽ mengatakan bahwa makrifah, jika diiihat dari segi bahasanya berarti "ilmu yang tidak menerima keraguan." Atau dalam ungkapan arabnya dikatakan ďťďť¤ďťďşî¨î§î°îîžîî¨î¤î´îłîŚîîîżîîśî´î îłîŚîîîîłîŚîî˛îŚîŹîîîîŽîîłîŚîîîDalam ungkapan lain, pengertian makrifah yang disebut dengan "ilmu yang tidak menerima keraguan" di dalam kitabnya Al-Munqidz min al-Dhalâl disebutnya dengan "ilmu yang meyakinkan" al-âilm al-yaqĂŽnĂŽ. Apa Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76-77. âAli âAbd al-âAzĂŽm, Falsafah al-Maârifah fĂŽ al-Qurâân al-KarĂŽm, Cairo al-Haiâah al-Ămmah li al-SyuâĂťn wa al-Mathâbiâ al-Misriyah, 1973, 287. Nicholson, The Mystics of Islam London Routledge and Kegan Paul, 1975, 71. Al-TaftâzânĂŽ, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-IslâmĂŽ, 71. IbrâhĂŽm BasyĂťnĂŽ, Nasyâah al-Tashawwuf al-IslâmĂŽ Cairo Dâr al-Maâârif, 265. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Raudhah al-ThâlibĂŽn wa âUmdah al-SâlikĂŽn Mesir Matbaâah al-Saââdah, 1924, 162. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah yang disebut dengan "ilmu yang meyakinkan" itu, al-GhazâlĂŽ mengatakan "sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu." Dalam ungkapan arabnya dikatakan îî¤îîśî´î îłîŚîî
îîŹîîłîŚîîîżîîîîłîŚîîŚîî°îźîîîžîî§îîżîî´î î
îŚîî˘î§î˘îî°îťîŚîîîŹîŚîîîîžî îˇîî¤îî°îîžîťî°î˘îŹîîîîîî˘î°îˇî¤îîî´î¤îłîŚîîśîżîîłîŚîîîîîŹîîîîî¤î´îŹîłîŚîîîîžîŹîŹîłîîŽîłîŻîîSebagai contoh, selanjutnya dia mengatakan Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dirubah menjadi ular; dan itu memang terjadi serta kusaksikan sendiri, maka hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini samasekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku. Selanjutnya aku tahu bahwa apa pun yang kuketahui, bila tidak seperti itu dan apa pun yang aku yakini bila tidak seyakin itu, maka yang demikian bukanlah "ilmu" yang dapat dipercaya dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak memberi aman tersebut, bukanlah ilmu yang menurut Dr. Sulaimân Dunyâ, "kebenaran" haqĂŽqah yang dicari al-GhazâlĂŽ untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dalam mengomentari pemyataan yang diberikan al-GhazâlĂŽ tentang "ilmu yang meyakinkan" seperti disebutkan di atas, AbĂť Bakr âAbd al-Râziq mengatakan Demikianlah ilmu yang meyakinkan menurut batasan yang diberikan dan dimaksud oleh al-GhazâlĂŽ. Inilah ilmu yang dapat memuaskan dan melegakan batinnya, sebab, ia bukanlah ilmu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tua, atau taklid kepada seseorang. Sesungguhnya ilmu yang telah mencapai tingkat yakin, sebagaimana contoh yang dia kemukakan, tak dapat digoyahkan oleh siapa pun. Sekiranya di hadapannya ada seseorang yang mampu merubah tongkat menjadi seekor ular, maka hal itu tidaklah berdampak terhadap dirinya, kecuali dia hanya kagum terhadap kemampuan orang tersebut dan dia tidak akan ragu terhadap apa yang dia telah segi istilahnya, makrifah menurut al-GhazâlĂŽ ialah "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud." Atau, dengan ungkapan aslinya dikatakan î¸îîîîŚîîî´îîî°îŚîîîŚîî¨îîĽîîĽîîłîŚîîśî´î îłîŚîîî¤îŤî
îĽîî°îîˇîîŚîî¨îî
ŽîîŚîî¨îîîîŚîî˛î°îĽîîŠîŚîŽîîłîî
îŚîîDari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa pengertian makrifah dalam paham al-GhazâlĂŽ tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala ketetapan-ketetapan-Nya untuk semua makhluk, meskipun pada kenyataannya dia lebih banyak membahas pengenalan tentang Tuhan yang memang tujuan utama setiap sufi. Oleh karena itu, dia juga mengatakan bahwa makrifah ialah "memandang kepada wajah Allah Ta'ala." عظŮďťďş ŮďťŘĽ ŮŘŹŮ îŻ ŮďťŘ§ďťŘŞ Perlu diketahui bahwa memperoleh makrifah itu merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seorang sufi memperoleh makrifah dari Tuhan makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Al-Munqidz min al-Dhalâl Turkey Hakikat Kitabavi, 1981, 4. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, al-Munqidz min al-Dhalâl, 4-5. Sulaimân Dunyâ, âAl-GhazâlĂŽ Yabhats âan al-Maârifah,â dalam al-GhazâlĂŽ, MĂŽzân al-âAmal Mesir Dâr al-Maâârif, 1964, 14. AbĂť Bakr âAbd al-Râziq, Maâa al-GhazâlĂŽ fĂŽ Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Ihyââ âUlĂťm al-DĂŽn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Ihyââ âUlĂťm al-DĂŽn, IV, 299. Studia Insania Vol. 4, No. 1 rahasia Tuhan, dan dia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh makrifah yang sempuma tentang Tuhan tidaklah mungkin karena manusia bersifat terbatas finite, sedang Tuhan bersifat tidak terbatas infinite, sebagaimana diterangkan al-GhazâlĂŽ dalam karyanya FĂŽ Bayâni Ma'rifatillâhsebagai berikut Bagaimana seorang manusia ingin mengenal Allah Taâala dalam arti yang sesungguhnya, sedang terhadap dirinya sendiri dia tidak mampu mengenalnya dengan sempuma? Dalam banyak hal orang hanya dapat mengenal aktivitas-aktivitas dan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengenal substansinya yang sebenamya. Bahkan manusia tidak mampu mengenal hakikat dan sifat-sifat semut atau binatang apa saja dengan pengenalan yang menyeluruh dan sempuma. Paling-paling dia hanya mampu mengenal segi-segi lahiriahnya saja, baik bentuk, wama, susunan anggota maupun perbedaannya dengan yang lain. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat semut yang membedakannya dengan binatang lainnya, baik susunan anggota maupun sifat-sifatnya, tak ada yang mampu dalam kitabnya Iljâm al-âAwâm âan âIlm al-Kalâm Imam al-GhazâlĂŽ mengatakan Dapat kami katakan masih amat jauh, bahwa orang-orang âarif al-âârifĂŽn itu ialah mereka mengenal Allah SWT. dengan sempuma tanpa terlindung sedikit pun. Sesungguhnya kami telah menjelaskan dengan bukti-bukti yang qathâĂŽ dalam kitab Al-Maqshad al-Aqshâ fĂŽ Asmâ'i al-Lâh al-Husnâ bahwa seseorang' tidak akan dapat mengenal hakikat Allah kecuali Allah sendiri. Bagaimanapun luasnya pengetahuan makhluk manusia dan banyaknya ilmu yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, maka sesungguhnya mereka itu tidaklah diberi ilmu kecuali sedikit. Namun yang penting hendaklah diketahui bahwa keberadaan Tuhan al hadrah al-ilahiyah meliputi segala sesuatu yang ada dalam wujud ini. Karena itu, hanya Allah dan perbuatan-perbuatanNya yang sebenamya ada dalam wujud ini, semuanya adalah bukti kebenaran itu, kata al-GhazâlĂŽ, suatu hal yang tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal hakikat zat Allah SWT. Maka bagi seorang arif yang berkata bahwa dia tidak mampu mengenal-Nya berarti bahwa dia telah kenal padaNya. Inilah batas kesanggupan yang dimiliki manusia untuk mengenal Allah SWT."Karena itulah, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadis, kita hanya diperintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan kejadian makhluk, ciptaan Allah; sama sekali tidak ada perintah untuk memikirkan zat penciptanya, Allah SWT. Sesungguhnya, tersingkapnya rahasia-rahasia ketuhanan dan ketetapan-ketetapan tuhan terhadap segala sesuatu merupakan kenikmatan, kebahagiaan dan keistimewaan yang paling utama. Kemuliaan suatu makrifah, katanya, sangat terkait dengan obyeknya. Allah adalah zat yang Maha Agung dan Maha Mulia; dan karena itu mengenalNya merupakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada taranya. Dalam hal ini al-GhazâlĂŽ menulis Dengan demikian jelas bahwa ilmu itu adalah suatu kelezatan; sedang ilmu yang paling lezat adalah ilmu tentang Allah Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya dalam kerajaanNya dari ujung Sebuah risalah yang tersimpan di universitas Leiden, Belanda. Risalah ini dipublikasikan oleh Dr. MahmĂťd HamdĂŽ Zaqruq dalam majalah Minbar al-Islâm, Kemudian diterbitkan oleh Maktabah al-JundĂŽ, Mesir yang dijilid menjadi satu dengan karyanya al-Iqtishâd fĂŽ al-Iâtiqâd. Risalah yang terdiri dari beberapa halaman ini ditempatkan pada bagian akhir setelah al-Iqtishad. Penerbitnya oleh Maktabah al-JundĂŽ ini diberi pengantar oleh Mumahhad Mustafâ AbĂť al-âAla. Lihat Muhammad Mustafa AbĂť al-âAlâ, âTashdĂŽr al-Risâlahâ dalam AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, FĂŽ Bayân Maârifatillah Maktabah al-JundĂŽ, Mesir, 220. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, FĂŽ Bayân Maârifatillah, 225. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Iljâm al-âAwâm âan âIlm al-Kalâm Turkey Hakikat Kitabevi, 1981, 32. Al-GhazâlĂŽ, FĂŽ Bayân, 223-224. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah arasyNya sampai ke batas akhir dunia. Karena itu haruslah dicamkan bahwa kelezatan makrifah lebih utama dari kelezatan seluruh apa pun .Dengan demikian, tujuan akhir dari perjalanan orang-orang ârif ialah bertemu al-liqâ' dengan Tuhan. Dengan pertemuannya itu, semua kesusahan dan keinginan duniawi hilang/lenyap dari perasaan batinnya. Dia tenggelam dalam lautan kenikmatan karena berjumpa dengan Tuhan. Jika dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan merasa kesakitan dan jika ditawarkan kepadanya kenikmatan surga, dia tidak akan berpaling kepadanya karena dia telah sampai pada tingkat kenikmatan yang paling sempuma. Tingkat-tingkat Makrifah Dalam proses pencarian makrifah atau ilmu yang meyakinkan tersebut, pertama-tama muncul ilmu inderawi ke depan karena ia dapat diperoleh dengan mudah dan merupakan tanggapan langsung. Tetapi ilmu yang merupakan hasil pengamatan langsung dan tampak mudah ini temyata menunjukkan kepalsuan jika ditilik lebih dekat dan dikejar lebih jauh. Dalam Miâyâr al-âIlm dicontohkan dengan memperhatikan indera yang paling utama, kuat dan dominan, yaitu mata. Ketika melihat bayangan benda, mata menganggapnya diam, padahal bayangan itu bergerak perlahan yang tidak dapat ditangkap oleh mata. Dari jarak jauh, suatu benda tampak kecil pada mata, padahal benda itu besar bila ditilik dari dekat. Mata melihat seorang anak kecil, tampak tidak tumbuh besar, padahal setiap detik dia terus tumbuh dan berkembang. Mata melihat matahari kecil, padahal ia lebih besar dari planet bumi. Tidakkah mata melihat bintang-bintang di langit hanya sebesar uang-uang logam, padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa ia lebih besar dari yang kita dalam bukunya al-Munqiz yang ditulisnya kemudian, dia menambahkan bahwa tipuan dan kepalsuan yang diberikan indera itu menyebabkannya ragu pada seluruh pengetahuannya. Oleh karena itu semua ilmu inderawi tidak dapat diyakini dan bukanlah ilmu yang percayaan al-GhazâlĂŽ terhadap laporan inderawi mendorongnya terus melangkah, memburu makrifah melalui ilmu-ilmu akli. Dalam salah satu karyanya al-GhazâlĂŽ membandingkan akal itu dengan mata, dimana ditegaskan bahwa akal mengungguli mata dalam hal kesanggupannya memperoleh ilmu yang meyakinkan. Di situ disebutkan tujuh kelemahan mata yang sekaligus menunjukkan kelebihan akal dari mata tersebut dalam mengenal hakikat. Di sini timbul persoalan, kalau demikian halnya mengapa orang-orang berakal berbuat salah dalam pandangan dan pemikirannya. Menurut al-GhazâlĂŽ, kesalahan bukanlah terletak pada akal itu, tetapi karena khayalan dan angan-angan dicampuradukkan dengan akal, sedang akal yang bersih tidak mungkin berbuat salah dan keliru melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Namun terhindamya samasekali dari hal-hal seperti ini sungguh sulit. Bahkan, terhindamya ia, secara sempuma, dari dorongan-dorongan seperti ini hanya dapat dialaminya kelak, setelah mati. Jadi al-GhazâlĂŽ mengakui adanya kesulitan-kesulitan besar yang menghalangi penjemihan dan abstraksi akal ini, sehingga dapat dikatakan mustahil Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, 300. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Miâyâr al-âIlm Mesir al-Matbâah al-âArabiyah, 1927, 55. Al-GhazâlĂŽ, al-Munqiz, 5-6. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Misykât al-Anwâr, Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964, 43-47. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Misykât al-Anwâr, 25. Studia Insania Vol. 4, No. 1 berlaku penjemihan didunia ini. Dengan demikian, tidak ada pula harapan untuk menjadikan akal sebagai alat untuk mencapai makrifah atau ilmu yang meyakinkan sebagaimana yang terjadi pada pancaindera. Keadaan ini membuat al-GhazâlĂŽ tidak percaya terhadap seluruh pengetahuannya, baik ilmu-ilmu inderawi maupun ilmu-ilmu akli, kecuali ilmu-ilmu akli yang bersifat aksiomatik al-awwaliyât seperti pengetahuan bahwa sepuluh itu lebih dari tiga, dan pemyataan penolakan dan penerimaan tidak dapat berkumpul dalam satu al-GhazâlĂŽ â sebagaimana sufi-sufi lainnya memandang bahwa indera dan akal tak mampu memberikan pengetahuan yang hakiki. Indera tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena ia sering memberikan keterangan yang keliru. Demikian pula akal, karena hasil yang ditarik dari penalaran rasional tidak terlepas dari data yang diberikan indera. Tetapi selain dari dua macam yang disebutkan di atas, ada satu ilmu yang tidak mempergunakan indera dan akal yang disebut dengan ilmu ilhami atau disebut pula ilmu laduni; namun lebih populer disebut dengan ilham. Ilham, menurut al-GhazâlĂŽ, ialah ilmu yang didapat manusia tanpa proses pengamatan dan penalaran atau dengan jalan belajar, ia langsung datang ke dalam kalbu, sebagai anugerah Tuhan. Ilmu ini khusus untuk para wali al-auliyâ' dan orang-orang pilihan yang bersih jiwanya al-ashfiyââ.Setelah berkesimpulan bahwa ilmu yang didapat melalui indera belum dapat meyakinkan dirinya, al-GhazâlĂŽ terus menyelidiki ilmu yang didapat melalui akal; namun di sini dia juga merasa belum yakin terhadap keabsahan ilmu yang didapat lewat akal itu. Kali ini baik ilmu inderawi maupun ilmu akli sangat tergantung pada kesadaran dan keadaan seseorang ketika ia mengidentifikasikan apa yang sedang dia amati dan pikirkan. Sebagai contoh, ambillah soal mimpi. Tidakkah kita dapat menyaksikan dalam mimpi hal-hal seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah kita terbangun nyatalah semua itu khayal belaka. Barangkali segala yang kita percayai diwaktu jaga sadar, baik dengan indera maupun akal, itu hanya berhubungan dengan keadaan kita ketika itu sadar, sehingga andaikata kita sampai kepada suatu keadaan yang lebih sadar lagi, barangkali di situ kita insaf bahwa keadaan kita ketika itu seakan-akan mimpi ilmu inderawi dan ilmu akli sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang, maka mungkin kata al-GhazâlĂŽ keadaan dan kesadaran yang lebih tinggi telah dicapai oleh kaum sufi, yang dalam keadaan tertentu mereka dapat menyaksikan hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh indera dan akal. Jadi menurut al-GhazâlĂŽ, ilmu yang meyakinkan telah dicapai oleh kaum sufi. Mereka telah sampai pada suatu keadaan yang lebih tinggi dari yang dicapai oleh para ilmuan dan filosof. Kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh mereka. Hal ini dicapai melalui nĂťr yang diberikan Tuhan kepada orang yang dikehendakiNya. NĂťr ini, katanya, adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu makrifah. Jelas bahwa makrifah yang tertinggi dalam paham tasawuf al-GhazâlĂŽ didapat melalui ilham, yaitu Tuhan memasukkan nĂťr ke dalam kalbu seseorang untuk mengenai rahasia-rahasia ketuhanan dan hakikat segala sesuatu. Jadi, menurut al-Ghazail, seseorang tidak akan dapat mencapai makrifah dengan indera dan akal, akan tetapi melalui nĂťr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbunya. Al-GhazâlĂŽ, al-Munqdiz, 5-6. Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, III, 17. Al-GhazâlĂŽ, al-Munqidz., 6. Al-GhazâlĂŽ, al-Munqidz, 7. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah Barangsiapa mengira bahwa adanya kasyf tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang amat luas. Rasulullah saw ketika ditanya tentang makna al-syarh lapang dada dalam firman Allah "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam." mengatakan "Yaitu nĂťr yang dilimpahkan Allah ke dalam mengemukakan pendapat al-GhazâlĂŽ ini, âAlĂŽ âAbd al-âAzĂŽm merumuskan, bagaimana indera dan akal dapat menyesatkan para pencari makrifah. Sedang jalan satu-satunya untuk sampai ke sana adalah melalui nĂťr yang diilhamkan Tuhan ke dalam hati-nurani, sebagaimana katanya Sesungguhnya Hujjatu al-Islam al-GhazâlĂŽ telah menjelaskan dalam kitabnya yang amat berharga al-Munqidz min al-Dhalâl bagaimana indera dan akal menyesatkan para pencari makrifah, Dan satu-satunya jalan untuk mencapai makrifah tersebut ialah dengan kalbu yang mendapat ilham, yang disinari nĂťr disebutkan di atas, zauq orang sufi yang lahir dari kejemihan batin melalui pelaksanaan hidup zuhud zuhd, asceticism dan peribadatan itu merupakan tingkat permulaan dari kenabian para nabi. Tetapi dia tidak mengatakan bahwa seorang sufi dapat mencapai tingkat yang sama dengan para nabi. Makrifah yang dicapai para sufi itu sejenis dengan apa yang dicapai para nabi, walaupun tingkatnya lebih rendah. Dengan kata lain, para sufi dapat menjelajah ke daerah yang tidak mungkin dimasuki para filosof, walaupun tidak sedalam yang mungkin dicapai para nabi. Namun, bagaimanapun, para sufi tidak mungkin menganggap diri mereka telah mencapai daerah bebas hukum syariat, karena yang disebut terakhir ini adalah kebenaran yang bersumber dari kenabian yang jauh lebih tinggi kebenarannya dari apa yang dapat dicapai oleh sang sufi. Al-GhazâlĂŽ juga telah menempatkan indera, akal dan ilham sesuai dengan sifat dan wewenang masing-masing sebagai sarana untuk mencapai makrifah. Namun, berdasarkan penelitian dan pengalamannya, dia menyimpulkan bahwa yang terakhir inilah sarana yang aman dan dapat menyampaikan ke tujuan, yakni sesuatu yang dicarinya sejak selagi muda hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini Ahmad al-SyarbâsĂŽ mengatakan Akhimya dia temukan apa yang dicarinya dan ketenangan jiwanya di dalam tasawuf. Pada saat itu dia tahu bahwa indera adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan empirik al-maârifah al-mâddiyah, akal untuk memperoleh pengetahuan rasional al-maârifah al-âaqliyah dan ilham untuk memperoleh pengetahuan sufistik al-maârifah al-shĂťfiyah. Sesungguhnya yang terakhir ini adalah cara yang dapat menyampaikan ke tujuan dan sarana yang dalam kitabnya Iljâm al-âAwâm, sebuah kitab teologis, al-GhazâlĂŽ menasehati kaum awam tentang hal-hal yang wajib diusahakan dan dihindari. Dia pun memberikan batas makrifah yang dapat dijangkau oleh akal pikiran orang awam. Nasehat pertama, hendaknya kaum awam membersihkan antropomorfisme dari pemikiran tentang Tuhan. Jika terdengar ayat-ayat tentang Allah mempunyai tangan, jari-jari dan lain sebagainya, janganlah muncul adanya gambaran bahwa Dia mempunyai daging, darah dan tulang. Allah itu bersih dari segala sifat dan bayangan antropomorfik. Nasehat kedua, hendaknya mereka membenarkan segala ajaran yang datang dari rasul, sahabat dan tâbiâĂŽn, serta menerimanya tanpa penelitian dan tanya. Sebab Al-GhazâlĂŽ, al-Munqidz, 7. Abd al-âAzĂŽm, Falsafah al-Maârifah, 287-289. Ahmad al-SyarbâsĂŽ, al-GhazâlĂŽ wa al-Tashawwuf al-IslâmĂŽ Cairo Dâr al-Hilâl, 172. Studia Insania Vol. 4, No. 1 penelitian tentang rahasia akidah bukan merupakan urusan orang awam, dan bukan keahliannya. Pertanyaan terhadap rahasia akidah tersebut berbahaya, bahkan dapat membawa kepada kekufuran. Yang mesti dicamkan oleh kaum awam, katanya, ialah bahwa rahasia tadi tidak tersembunyi bagi orang arif, yaitu mereka yang telah menapaki jalan orang arif dan telah mencapai siapakah yang dimaksud dengan awam menurut al-GhazâlĂŽ? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama dapat dilihat pada pembagian tingkat keimanan atau tajalli tersingkapnya Tuhan bagi seseorang sebagaimana tertuang dalam kitabnya, Ihyââ, sebagai berikut 1. Iman orang awam, yaitu orang kebanyakan yang tidak banyak berilmu. Inilah iman taklid semata-mata. 2. Iman ahli kalam mutakallimĂŽn, yaitu orang-orang yang imannya berdasarkan pemikiran dan penalaran. Tingkat iman semacam ini tidak berjauhan dengan tingkat orang awam tadi. 3. Iman orang âârif yaitu mereka yang mencapai tingkat keimanan dengan nĂťr al-yaqĂŽn cahaya kepastian.Untuk menjelaskan tingkat-tingkat keimanan di atas, al-GhazâlĂŽ mengemukakan ilustrasi, yaitu Jika anda ingin mengetahui adanya si Zaid dalam rumah, maka hal ini memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama, kalau anda diberi tahu oleh orang yang sudah anda uji kejujurannya anda belum pemah mengenal dia berdusta dan anda tidak menaruh prasangka terhadap ucapannya, maka sungguh hati anda akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengamya saja. Inilah iman yang berdasarkan ikut-ikutan taklid semata, yaitu perumpamaan iman orang-orang awam. Mereka mendengar dari ibu-bapaknya tentang wujud Allah dan sifat-sifatNya, mendengar diutusnya para rasul dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Dari apa yang didengamya itu, mereka menerimanya dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun karena sangka baik terhadap orang-tua dan guru-guru mereka. Iman semacam ini dapat menuju ke akhirat. Akan tetapi ini merupakan tingkat permulaan, belum tergolong muqarrabĂŽn karena tidak adanya kasyf dan bashĂŽrah serta tidak adanya kelapangan dada buat nĂťr al-yaqĂŽn. Mengapa demikian? Karena adanya kemungkinan salah tentang apa-apa yang didengamya itu. Hati orang Yahudi dan Nasrani juga merasa tenang dan puas dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu-bapak mereka. Tetapi mereka mendengar dan mengikuti ajaran yang salah. Tingkat kedua, jika anda mendengar perkataan Zaid dan mendengar suaranya di balik dinding, lantas anda mengatakan bahwa Zaid ada di dalam dengan berdalih telah mendengar suaranya. Dalam hal ini, iman dan keyakinan anda tentang adanya Zaid dalam rumah lebih kuat dari kepercayaan pada tingkat pertama. Iman pada tingkat kedua ini adalah keyakinan yang telah disertai dengan dalil. Namun kesalahan pun masih mungkin terjadi, karena suara si A kadang-kadang serupa dengan suara si B. Sungguhpun demikian, hal itu tidak terlintas di hatinya, karena dia tidak menaruh prasangka samasekali, lagi pula dia sedikit pun tidak merasa terkicuh dan terserupakan dengan suara yang lain. Tingkat ketiga, apabila anda masuk ke dalam rumah, lantas anda melihat dan menyaksikan si Zaid dengan mata kepala sendiri. Tingkat ketiga ini adalah makrifah yang hakiki dan pembuktian yang menguatkan keyakinan. Inilah makrifah para muqarrabin dan siddiqin. Kendatipun demikian, tingkat iman mereka Al-GhazâlĂŽ, Iljâm, 8-9. Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, III, 15. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengenalan dan kasyf masing-masing. Seseorang yang melihat Zaid dari dekat dan di siang hari tentulah lebih sempuma dari seseorang yang melihatnya dari jauh dan di waktu senja. Berdasarkan klasifikasi di atas, dalam kitabnya Mizân al-âAmal, al-GhazâlĂŽ membagi pemikiran manusia atas tiga tingkatan 1. Pendapat yang diikuti secara fanatik, karena pendapat itu berkembang di daerah orang itu hidup, atau merupakan pendapat keluarga atau gurunya. 2. Pendapat orang-orang yang mencari kebenaran mustarsyidĂŽn atau yang mengikuti jalan pikiran mereka. Pendapat ini berbeda-beda, tergantung pada kemampuan masing-masing pencari kebenaran itu sendiri. Kalau ia bukan orang genius, pasti akan tergelincir. 3. Pendapat yang hanya diketahui orang yang dekat dengan Tuhan. Orang lain tidak memahami dan mengerti; karena itu, pemikiran yang demikian tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang. Ia hanya dapat diutarakan kepada rekan seprofesi atau orang yang sudah setingkat pikiran di atas, boleh jadi, menyebabkan al-GhazâlĂŽ menyusun buku dengan tingkat dan bobot berbeda-beda. Ada yang untuk orang awam lower class; dan ada yang hanya untuk kalangan tertentu elite class. Buku tipe terakhir ini tidak disebar buat orang awam. Dalam hal ini, para ahli masih berbeda pendapat dalam menunjuk buku al-GhazâlĂŽ yang ditujukan untuk kalangan elit. Namun mereka sepakat bahwa dia mengarang buku-buku jenis itu, dan berisi pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalaman khusus yang tidak mungkin diutarakan kepada orang awam, karena lantaran dikhawatirkan akan menyesatkan mereka. Barangkali buku-buku semisal Iljâm âAwâm âan âIlm al-Kalâm, Misykât al-Anwâr, dan Al-MadhmĂťn Bihi Alâ Ghairi AhlihĂŽ ditulisnya untuk kalangan elit tersebut. Oleh karena itu, dalam kitabnya Iljâm al-âAwâm, al-GhazâlĂŽ hanya membagi tingkatan manusia dalam hubungannya dengan pencapaian makrifah ke dalam dua tipe, yaitu kelompok awam dan kelompok elit. Siapakah yang dimaksud dengan awam dalam kitabnya ini? Al-GhazâlĂŽ membatasi awam sebagaimana yang telah kita bicarakan, yaitu sastrawan, ahli nahwu ahli tatabahasa, muhaddits ahli hadis, mufassir ahli tafsir, faqĂŽh ahli fiqh dan ahli kalâm teolog, bahkan semua orang berilmu kaum intelektual, selain kaum mutajarridĂŽn mereka yang melepaskan diri dari ikatan dunia untuk belajar berenang mengarungi lautan makrifah. Jika yang termasuk kriteria awam itu adalah semua orang yang berilmu yang tidak melepaskan diri dari ikatan dunia dengan segala pesonanya untuk mengarungi lautan makrifah,maka kita bisa memasukkan para ahli pikir ke dalam kriteria awam, yaitu mereka yang menjadikan akal sehagai sarana untuk mencapai makrifah. Al-GhazâlĂŽ memisalkan perbedaan ilmu yang didapat dengan jalan ilham dengan ilmu sebagai hasil studi sebagai berikut Andaikata ada sebuah kolam yang digali di bumi, mungkin saja dialirkan air kepadanya dari sebelah atas melalui saluran-saluran air ke dalam kolam itu, dan mungkin pula lewat sebelah bawah dengan menggali terus dimana tanah-tanahnya diangkat dari dalam kolam tersebut sehingga sampai kepada tempat air yang bersih, lantas terpancarlah air dari sebelah bawah kolam tersebut; dan air yang Al-GhazâlĂŽ, MĂŽzân, 156-8. Al-GhazâlĂŽ, Iljâmâ, 15. Studia Insania Vol. 4, No. 1 demikian itu lebih bersih dan lebih kekal tidak mudah kering, kadang-kadang lebih banyak dan berlimpah ruah. Demikianlah, kalbu bagaikan kolam dan ilmu bagaikan air, sedangkan pancaindera seperti saluran-saluran air. Besar kemungkinan ilmu-ilmu itu disalurkan ke kalbu lewat saluran-saluran indera dan mengambil pelajaran dari barang-barang yang nyata sehingga kalbu penuh berisi ilmu. Mungkin pula saluran-saluran indera itu dibendung dengan khalwat, mengasingkan diri âuzlah dan menutup penglihatan serta secara sadar menggali kedalaman kalbu dengan membersihkannya, menghilangkan lapisan-lapisan tirai daripadanya, sehingga terpancarlah sumber-sumber ilmu dari dalam kalbu al-GhazâlĂŽ ini dapat mengundang pertanyaan. Misalnya, bagaimana ilmu itu dapat memancar dari kalbu, sedang ia bukan sumber ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia berkata "Ketahuilah, hal itu tergolong sebagian dari rahasia keajaiban kalbu. Ia tidak dapat diukur dengan ilmu muââmalah. Tentang apa yang disebut dengan ilmu muââmalah ini akan diuraikan kemudian. Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan demikian al-GhazâlĂŽ tidak menghargai ilmu, anti intelektualisme dan tidak percaya terhadap akal, yang menyebabkan terjadinya stagnasi daya kreatifitas dan inovasi kaum muslimin dimana pengaruhnya sangat dominan. Pertanyaan ini, temyata, tidak hanya muncul dari pengklasifikasian makrifah seperti terurai dimuka, tetapi juga dilatarbelakangi sikapnya yang tidak mempercayai hukum sebab-akibat atau kausalitas dan serangannya yang gencar terhadap filsafat. Untuk mengetahui sikap al-GhazâlĂŽ terhadap ilmu pengetahuan science, mari kita lihat keterangannya dalam kitab Ihyâ' pada bab yang membicarakan tentang ilmu. Di bawah judul "Bayân al-âIlm al-ladzĂŽ Huwa Fardhu Kifâyah" al-GhazâlĂŽ membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu syarâiyah ilmu agama dan ghair syar'iyah bukan ilmu agama. Ilmu syar'iyah ialah ilmu yang berasal dari para nabi as., bukan karena produk pemikiran seperti Ilmu Hitung al-hisab, bukan hasil eksperimen seperti Ilmu Kedokteran al-thibb dan bukan pula hasil pendengaran seperti bahasa al-lughah. Sedangkan ilmu-ilmu ghair syarâiyah terbagi kepada tiga macam, yaitu terpuji mahmĂťd, tercela mazmĂťm dan boleh mubâh. Ilmu yang terpuji ialah ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran dan Ilmu Hitung. Selanjutnya ilmu ini terbagi lagi menjadi fardhu kifâyah dan keutamaan yang tidak difardukan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifâyah ialah setiap ilmu yang sangat dibutuhkan untuk menegakkan urusan-urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran karena ia merupakan bagian integral dari kelangsungan hidup manusia; dan Ilmu Hitung karena ia sangat dibutuhkan dalam pergaulan al-muâamalat, pembagian wasiat, waris dan lain apa yang terurai dalam kitab Ihyâ' tersebut, jelas bahwa al-GhazâlĂŽ begitu apresiatif terhadap ilmu pengetahuan, yaitu dengan menempatkan ilmu-ilmu yang berguna bagi dunia dan kemanusiaan pada status terpuji serta mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Oleh sebab itu mungkin perlu ditinjau kembali pendapat yang mengatakan bahwa kemerosotan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam antara lain disebabkan sikap dan pendapat al-GhazâlĂŽ tentang pengklasifikasian tingkat kemampuan di atas. Memang, sebagai pengikut dan sekaligus salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah dalam bidang kalâm, al-GhazâlĂŽ tidak percaya adanya kepastian hukum sebab-akibat atau hukum alam. Hal ini merupakan Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, III, 19. Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, III, 19. Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, I, 17. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah konsekuensi dari pendapatnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Berbeda dengan orang-orang Muâtazilah, al-GhazâlĂŽ berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendakNya, tanpa terikat pada sesuatu apa pun, termasuk pada hukum alam. Pendapat al-GhazâlĂŽ inilah yang sering dikritik dan dipandang, seperti tersebut di atas, sebagai penyebab terjadinya kemerosotan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran Islam, sebab, kemajuan ilmu pengetahuan itu merupakan produk pengamatan dan penalaran terhadap hukum alam tersebut. Adanya hubungan sebab-akibat seperti yang terlihat dalam keseharian, demikian selanjutnya al-GhazâlĂŽ menjelaskan, haruslah dikembalikan kepada takdir Allah. Apabila yang satu mengikuti yang lain, maka hal itu memang telah diciptakan demikian, bukan karena hubungan itu suatu keharusan yang tercipta dalam dirinya dan tidak bisa diubah lagi. Allah berkuasa untuk menciptakan kenyang tanpa makan, mati tanpa putusnya leher dan menghilangkan kehidupan dengan putusnya leher; dan demikian seterusnya hingga keseluruhan hubungan yang saling berarti bahwa al-GhazâlĂŽ tetap konsisten pada paham teologisnya seperti disebutkan di atas. Kemudian tentang serangannya terhadap filsafat yang juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya kemandekan daya kreatifitas filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi berkembang sebagaimana halnya di zaman keemasan dahulu di dunia Islam, barangkali masih perlu ditinjau kembali. al-GhazâlĂŽ mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan para filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya temyata argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhimya dia mengambil sikap menentang terhadap dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, yang kemudian ditegaskan kembali di dalam al-Munqiz, al-GhazâlĂŽ menyerang duapuluh masalah dari proposisi para filosof, tidak saja filosof Yunani, tetapi juga filosof muslim seperti al-FârâbĂŽ dan Ibnu Sinâ. Dari keduapuluh masalah tersebut, ada tiga proposisi mereka yang dipandangnya membawa kekufuran, sedang selebihnya hanya mengandung bid'ah dan mendekati paham Muâtazilah yang tidak seyogyanya dikafirkan. Ketiga proposisi filosof yang diserangnya dengan gencar dan habis-habisan itu adalah Pertama, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat. Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan, yaitu Dia hanya mengetahui alam ini secara global, sedangkan hal-hal secara detail berada di luar pengetahuanNya. Ketiga, pendirian para filosof akan kekekalan alam. Selanjutnya, katanya, tak seorang muslim pun yang mempercayai proposisi-proposisi semacam ini. Sekalipun begitu, menurut al-Ghazali, di antara masalah yang digeluti para filosof terdapat hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama. Matematika, yaitu ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Hitung Arithmetic, Ilmu Ukur Geometry dan Kosmologi Cosmology sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Ia membawa bukti-bukti yang pasti. Namun perlu diingat, ia memiliki dua bahaya 1 Karena begitu mengaguminya, hingga dia mengira bahwa pendapat para filosof itu semuanya benar, dan 2 Timbul dari Al-GhazâlĂŽ, Ihyââ, I, 111. AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, TahâfĂťt al-Falâsifah Mesir Dar al-Fikr, 239. Harun Nasution, Falsafah, 42-43. Al-GhazâlĂŽ, Ihyaâ, I, h. 307-308. Dan lihat al-GhazâlĂŽ, al-MunqĂŽdz,, 16-17. Studia Insania Vol. 4, No. 1 orang yang merasa tahu tentang Islam, tapi sebenamya dia tidak tahu. Dia berkeyakinan, Islam harus dibela dengan menolak semua ilmu dari kaum filosof. Namun setelah dia tahu akan kebenaran ilmu tersebut, dia menjadi tidak percaya terhadap ajaran agama, karena ajaran agama itu dipandangnya bertentangan dengan ilmu yang sudah "pasti" kebenarannya itu. Selanjutnya, juga, Ilmu Mantik atau Logika, yaitu ilmu tentang cara-cara mencari dalil, membuat analogi dan menerangkan syarat-syarat untuk definisi yang benar, tidak bertentangan dengan agama, malah sangat diperlukan. Namun bahayanya, kata al-GhazâlĂŽ, yakni adanya kebenaran yang diberikan ilmu ini, bisa membawa orang untuk menganggap benar semua pendapat kaum filosof. Demikian pula Ilmu Alam atau Fisika, yakni ilmu yang membahas tentang benda-benda apa yang ada di langit seperti bintang-bintang dan apa yang ada di bumi seperti air, udara dan sebagainya samasekali tidak ditolak keberadaannya dalam agama. Namun yang penting harus diyakini, kata al-GhazâlĂŽ, bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Penciptanya, Allah SWT. Ini berarti bahwa al-GhazâlĂŽ tidak apriori menolak atau menerima produk pemikiran para filosof. Selanjutnya al-GhazâlĂŽ memperingatkan, bahwa dalam menanggapi ajaran kaum filosof ini orang bisa terjerumus ke dalam dua bahaya. Pertama, bahaya bagi orang yang menolak, yaitu mereka yang menolaknya mentah-mentah tanpa melihat sisi positif dari ajaran para filosof itu, karena menganggap bahwa semua ajaran yang berasal dari mareka itu salah. Kedua, bahaya bagi yang menerima, yaitu mereka yang menerima begitu saja tanpa meneliti benar-salahnya terlebih uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa al-GhazâlĂŽ bukanlah tokoh yang samasekali tidak menghargai akal, sebab, dia hanyalah menyerang beberapa aspek tertentu dari ajaran para filosof, yang dimasukkannya sebagai masalah-masalan Ketuhanan Ilâhiyât. Dia tidak menentang logika atau penggunaan akal dan nalar; yang dia tentang adalah klaim akal untuk memperoleh dan mengetahui seluruh kebenaran, termasuk masalah-masalah Ketuhanan yang sebagian besar dalam paham teologi al-GhazâlĂŽ hanya dapat diketahui lewat wahyu. Makrifah sebagai Ilmu Mukasyafah Al-GhazâlĂŽ memperkenalkan karya monumentalnya Ihyâ' âUlĂťm al-DĂŽn dengan suatu peringatan, bahwa dia menulis bukunya itu bukan dengan tujuan untuk merumuskan kebenaran-kebenaran agamawi dengan kata-kata. Dalam hal ini dia memberi peringatan dengan alasan utama bahwa pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum, ia hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Di dalam melukiskan kenyataan, kata-kata hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari akal pikiran. Pengertian tentang kebenaran sufistik membutuhkan perkembangan tertentu dari si pembacanya dimana unsur pokok dari pengetahuan itu dihubungkan. Kebenaran sufistik berada di tingkat ini dan pengetahuan merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Ungkapan dengan kata-kata tidaklah mungkin, karena kata-kata tidak dapat menyampaikan hubungan dalam cara yang mengandung arti yang sebenamya, karena itu akan menyesatkan mereka yang tidak memiliki hubungan tersebut dalam dirinya. Al-GhazâlĂŽ, al-MunqĂŽdz, 13-16. Al-GhazâlĂŽ, al-MunqĂŽdz, 17-20. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah Pada tingkat pemahaman sufistik, hal-hal yang telah diketahui merupakan pengetahuan antara manusia dengan Tuhan. Pengetahuan ini bukan merupakan suatu bentuk dari pemikiran yang sistematis, yang dapat diatur dengan kata-kata dan dapat dikomunikasikan dengan hasil pemikiran. Kontak antara sufi dengan obyek pengetahuan bersifat intim dan langsung; sistematisasi dan kata-kata dapat mencegah hubungan langsung tersebut. Apa yang dapat ditulis atau diajarkan oleh orang-orang sufi adalah "jalan" mencapai suatu kenyataan, bukan uraian tentang kenyataan. Kontak seperti itu diperoleh dari hasil penyingkiran "selubung-selubung" yang menutupi penglihatan kalbu dari kenyataan. Selubung tersebut adalah penglihatan dengan pemikiran dan penalaran intelektual. Termasuk di dalamnya juga kebiasaan-kebiasaan, sifat dan tujuan-tujuan duniawi yang menguasai kecerdasan seseorang; dan dengan demikian menghalangi kebebasannya. Apabila kalbu bebas dari semua halangan tersebut dan tidak menyimpang dari tujuannya, maka seseorang akan dapat menerima pengetahuan yang hakiki. Pada tingkat ini, pengetahuan yang hakiki makrifah tersebut disebut ilmu mukasyafah. Ilmu mukasyafah merupakan tujuan terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan untuk meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang hakiki di atas kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini. Ilmu mukasyafah termasuk ilmu batin dan merupakan puncak segala ilmu. Di antara orang-orang arif pemah mengatakan "Barangsiapa tidak memiliki ilmu ini, dikhawatirkan akan celaka pada akhir hayatnya. Paling tidak dia harus mengakui eksistensinya dan tunduk kepada ahlinya." Inilah ilmu para Siddiqin dan yang dimaksud dengan ilmu mukâsyafah, di dalam Pendahuluan kitabnya Ihyâ', al-GhazâlĂŽ mengatakan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ilmu yang menyingkap segala sesuatu yang menjadi obyeknya. Di halaman lain al-GhazâlĂŽ menyebutkan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ungkapan tentang nĂťr yang tampak di dalam kalbu ketika kalbu itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, Dengan nĂťr itu tersingkaplah hakikat segala sesuatu. Dengan demikian tercapailah makrifah yang hakiki, baik mengenai rahasia Ketuhanan maupun rahasia perbuatan-Nya dalam menciptakan dunia dan akhirat. Oleh karena itulah, al-GhazâlĂŽ seterusnya mengatakan, bahwa ilmu mukâsyafah berarti hilangnya tutup sehingga jelas bagi seseorang kejelasan Tuhan pada segala hal, seperti jelasnya pandangan mata yang tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dicapai seandainya cermin kalbu tidak ditutupi karat dan tidak dikotori oleh noda-noda langsung terhadap obyek-obyek pengetahuan merupakan tujuan akhir dari setiap ajaran kaum sufi. Obyek tertinggi dari pengetahuan adalah Allah. Orang tidak dapat mempelajari pengetahuan seperti itu dari siapa pun; dari para nabi pun tidak. Sebagai pengalaman langsung, menurut al Ghazali, ia adalah nĂťr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbu orang-orang tertentu yang dikehendakiNya. Dalam hal ini, dengan mengemukakan sabda Rasulullah saw, al-GhazâlĂŽ menegaskan bahwa orang harus Al-Ghazali, Ihyaâ, I, 20. Al-Ghazali, Ihyaâ, I, 4. Al-Ghazali, Ihyaâ, I, 20. Al-Ghazali, Ihyaâ, I, 21. Studia Insania Vol. 4, No. 1 "Menjauhi dunia yang penuh tipuan dan menghadap dengan sepenuh perhatian ke alam akhirat yang abadi." Selanjutnya Rasulullah bersabda pula "Allah SWT. telah menciptakan seluruh makhluk dalam kegelapan, lalu Dia perciki mereka sebagian dari nĂťr-Nya." Karena itu, dengan nĂťr inilah dicari kasyf. NĂťr ini memancar dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu dimana orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah "Ada saat karunia dari Tuhanmu, siapkanlah dirimu untuk al-Ghazali, ilmu mukâsyafah adalah ilmu yang tersembunyi al-khafi hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenal Allah. Karena itulah mereka hanya mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya di luar kalangan sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui simbol, tidak diperkenankan disampaikan kepada setiap orang. Oleh karena itu, orang yang telah memperoleh pengetahuan tersebut tidak boleh mengungkapkannya kepada orang yang tidak pemah memper dalam Mukaddimah bukunya Misykât al-Anwâr, sebuah buku yang ditulisnya untuk kalangan tertentu yaitu orang-orang yang siap menerima berbagai hakikat yang pelik, al-GhazâlĂŽ memperingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ditangkap/diterima oleh orang-orang yang hanya menggunakan "mata" biasa indera dan akal. Karena itulah, katanya, tidak semua hakikat boleh diungkapkan dan disiarkan; tidak semua hakikat boleh dikemukakan. Bahwa "kalbu orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia." Sebagaimana pula dikemukakan oleh seorang âârif." Mengungkapkan rahasia Ilahi adalah kekufuran." Rasulullah saw; penghulu orang-orang terdahulu dan terkemudian, katanya, pemah bersabda "Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali ulama yang dekat dengan Allah. Apabila mereka menuturkannya, maka tidak seorang pun akan menyangkalnya kecuali orang-orang yang tertipu." Namun, jika orang telah siap dan berhak menerimanya, maka tidak sepantasnya merahasiakannya kepadanya. Sebab, menyembunyikan ilmu dari ahlinya tidaklah lebih kecil bahayanya daripada menyebarkannya di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya. Seorang penyair pemah berujar "Barangsiapa memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya, berarti dia telah menyia-nyiakannya. Dan barangsiapa menutup ilmu dari orang yang berhak mengetahuinya, sungguh ia telah berbuatan aniayaâ.Al-GhazâlĂŽ sering memberikan contoh tentang adanya kasyf ini dengan masalah mimpi. Dalam mimpi orang dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh mata atau rasio. Kalau kasyf bo1eh terjadi dikala tidur, maka tidak mustahil juga hal itu terjadi dikala jaga. Sebenamya tidak ada bedanya antara tidur dan jaga itu, kecuali hanya pada diamnya alat-alat indera dan ketidaksibukannya alat-alat indera itu terhadap benda-benda yang diamatinya. Banyak orang yang terbuka matanya, yang sedang tenggelam dalam lamunan, tidak melihat atau mendengar apa-apa karena dia sibuk akan urusan dirinya. Pemberitaan Rasulullah saw tentang masalah-masalah gaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, kata al-Ghazali, juga merupakan bukti tentang adanya kasyf. Jika yang demikian boleh terjadi pada Nabi saw, maka tentu boleh pula terjadi kepada selainnya, karena beliau sebagai lambang dari suatu pribadi Al-Ghazali, al-Munqidz, 7. Al-Ghazali, Ihyaâ, I, 21. Al-Ghazali, Misykât, 39-40. Al-Ghazali, Ihyaâ, III, 24. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah yang baginya tersingkap hakikat segala sesuatu dan diberi tugas untuk memperbaiki keadaan makhluk. Juga tidak mustahil kalau di alam ini ada pribadi yang baginya tersingkap segala hakikat, meskipun dia tidak bertugas memperbaiki keadaan makhluk. Pribadi semacam ini bukan nabi, tetapi disebut Dengan demikian, jika hakikat segala sesuatu tersingkap secara jelas bagi seseorang lewat ilham yang dilimpahkan Tuhan ke dalam kalbu, maka dia telah memperoleh suatu ilmu yang tidak diragukan lagi kebenarannya, yang disebut dengan makrifah. Itulah sebabnya, maka al-GhazâlĂŽ menyebut makrifah sebagai ilmu mukasyafah. Kemungkinan adanya kasyf, kata al-Ghazali, telah ditegaskan oleh dalil-dalil nakli. Rasulullah saw bersabda "Barangsiapa beramal sesuai dengan ilmunya, niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum dia ketahui; dan akan memberinya taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia layak mendapatkan surga. Dan barangsiapa tidak mau beramal dengan apa yang telah diketahuinya, niscaya dia akan tersesat pada apa yang dia ketahui; dan tidak akan mendapatkan taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia pantas mendapatkan neraka." Allah SWT berfirman "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar." 652. Maksudnya, kata al-Ghazali, adalah jalan keluar dari kesulitan dan keraguan. "Dan memberinya rezeki tanpa disangka-sangka." Yakni Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan membuatnya pintar tanpa berlatih. Makrifah, menurut al-Ghazali, berarti ilmu yang meyakinkan. Maksudnya, suatu "pengetahuan" yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapa pun dan apa pun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Sebab, makrifah yang bersiiat haqq al-yaqin itu adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, Allah SWT dalam kondisi musyahadah dan mukasyafah. Karena itulah AbĂť Nashr al-Sarraj al-Tusi mengartikan yaqin dengan tersingkapnya sesuatu secara jelas dan nyata al-mukasyafah. Sejalan dengan itu, maka al-GhazâlĂŽ meraberikan batasan makrifah dengan "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud. Dari keterangan di atas, tampak bahwa hakikat makrifah dalam ajaran tasawuf al-GhazâlĂŽ adalah pengenalan terhadap rahasia segala sesuatu. Meskipun demikian, sebagaimana sufi-sufi yang lain, hakikat makrifah dalam pandangan al-GhazâlĂŽ lebih terorientasi pada pengenalan terhadap Allah untuk mencapai tingkat tauhid yang sesungguhnya. Tingkat makrifah yang harus dicapai, menurutnya, adalah bertemu liqaâ dan melihat ruâyah Allah, yang disebutnya dengan istilah. "memandang kepada wajah Allah Ta'ala. Inilah kenikmatan yang paling tinggi dan paripuma yang tidak ada bandingannya [ ] Al-Ghazali, Ihyaâ, 24. Studia Insania Vol. 4, No. 1 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, 1975. Arberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. âAzim, âAli âAbd al-. Falsafah al-Maârifah fi al-Qurâân al-KarĂŽm. Cairo al-Haiâah al-Ămmah li al-SyuâĂťn wa al-Mathâbiâ al-Misiryah, 1994. Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahs âan al-Maârifah âinda al-GhazâlĂŽ. Beirut Dâr al-Kitâb al-LubnânĂŽ, BasyĂťnĂŽ IbrahĂŽm. Nasyâah al-Tasawwuf al-IslâmĂŽ. Cairo Dâr al-Maâârf, Dunyâ, Sulaimân. Al-HaqĂŽqah fi Nazri al-GhazâlĂŽ. Cairo Dâr al-Maâârif, 1971. FayĂťmĂŽ, Muhammad IbrâhĂŽm al-. al-Imâm al-GhazâlĂŽ wa âAlâqaha al-YaqĂŽn bi al-âAql. Cairo Dâr al-Fikr al-âArabĂŽ, Gardiner, al-GhazâlĂŽ, Madras Allahmad, Calcuta, 1919. Ghallâb, Muhammâd. al-Maâarifah âinda MufakkirĂŽ al-MuslimĂŽn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, GhazâlĂŽ, AbĂť HamĂŽd al- al-Adab fi al-DĂŽn. Beirut al-Maktabah al-Syuâbiyah, -. Faisal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zindiqah. Mesir al-Matbaâah al-âArabiyah, 1343 H. -. Fi Bayân Maârifatillâh. Mesir Maktabah al-JundĂŽ, -. Ihyââ âUlĂťm al-DĂŽn. Beirut Dar al-Fikr, -. Iljâm al-âAwwâm âan âIlm al-Kalâm. Turkey Hakikat Kitabavi, 1981. -. al-Iqtishâd fi al-Iâtiqad. Mesir Maktabah al-JundĂŽ, -. KĂŽmiyââ al-Saââdah. Beirut al-Maktabah al-Syuâbiyah, -. Maâârij al-Quds fi Madârij Maârifah al-Nafs. Mesir Matbaâah al-Saââdah, 1927. -. Minhâj al-âĂbidĂŽn, Cairo Mustafâ al-BâbĂŽ al-HalabĂŽ wa Aulâdih, 1337 H. -. Miârâj al-SâlikĂŽn. Mesir Matbaâah al-Saââdah, 1924. -. Misykât al-Anwâr. Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964. -. Mukâsyafah al-QulĂťb. Cairo âAbd al-HamĂŽd Ahmad Hanafi, -. al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981. -. Raudah al-TâlibĂŽn wa âUmdah al-SâlikĂŽn. Mesir Matbaâah al-Saâadah, 1924. -. Tahâfut al-Falâsifah. Mesir Dâr al-Fikr, Mahmud, âAbd al-Halim. Qadhiyah al-Tahsawwuf al- Munqiz min al-Dalâl. Mesir Dâr al-Kutub al-Haditsah, Mubarak, ZakĂŽ, al-Akhlâq âind al-GhazâlĂŽ. Cairo Dâr al-Kitâb al-âArabĂŽ, 1968. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta UI-Press, 1982. ASMARAN AS Menuju Maârifatullah -. Falsafah & Mistisisme dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1973. Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. Delhi Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1967. ________________. The Mystics of Islam. London Routledge and Kegan Paul, 1975. -. Studies in Islamic Mysticism. London Cambridge University Press, 1921. RÄziq, AbĹŤ Bakr âAbd al-. Maâa al-GhazÄli fÄŤ Munqidzihi min al-DalÄl. Cairo al-DÄr al-Qaumiyah, TaftÄzÄnÄŤ, AbĹŤ al-WafÄâ al-GhanÄŤmÄŤ, al-. Madkhal ilÄ al-Tahsawwuf al-IslÄmÄŤ. Cairo DÄr al-SaqÄfah li al-TIbÄâah wa al-Nasyr, 1979. Zwemer, Samuel M.. A Moslem Seeker after God. New York Fleming H. Revell Company, 1920. Studia Insania Vol. 4, No. 1 M. Kharis MajidWinda RoiniAzmi Putri Ayu WardaniMaulida Hasyyah SabrinaPandemic COVID-19 has led to a sharp decline in the economic aspect, educational activities considered less effective, and difficulty performing worship. As a result, people's anxiety has increased dramatically. This study aims to reveal the urgency of spiritual healing in the life of the community during the Pandemic COVID-19 to answer the challenges of how effective it is in tackling the crucial erosion of spirituality amid society. This article is library-based research, and the data were gathered using documentary approaches. With the descriptive analysis approach, using al-GhazÄlÄŤ's idea of Ma'rifatullÄh, this study found that Ma'rifatullÄh, through self-recognition, will lead someone to a more peaceful and calmer situation. Its position as a centre of spiritual healing in Taᚣawwuf teachings is very effective in overcoming the crisis experienced by the community during the pandemic. Thus, the anxiety and worldly concerns will transform into peace and This article reveals that self-tranquillity and peace are sometimes not dealing with worldly affairs. Instead, it is about spiritual things. However, many tend to forget that the root of their tranquillity is found in the spiritual Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 AbĂť Bakr Abd al-Râziq, Ma " a al-GhazâlĂŽ fĂŽ Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, IhyâSulaimân DunyâSulaimân Dunyâ, " Al-GhazâlĂŽ Yabhats " an al-Ma " rifah, " dalam al-GhazâlĂŽ, MĂŽzân al-" Amal Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 AbĂť Bakr " Abd al-Râziq, Ma " a al-GhazâlĂŽ fĂŽ Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Ihyâ " " UlĂťm al-DĂŽn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. 16 AbĂť HamĂŽd al-GhazâlĂŽ, Ihyâ " " UlĂťm al-DĂŽn, IV, Hidup Imam Al-GhazaliZainal AhmadAbidinAhmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, Account of the Mystics of IslamUnwin Paperbacks Azim Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-KarĂŽm. Cairo al-Hai " ah al-Ămmah li al-SyuA J ArberrySufismArberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. " Azim, " Ali " Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-KarĂŽm. Cairo al-Hai " ah al-Ămmah li al-Syu " Ăťn wa alMathâbi " al-Misiryah, al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-GhazâlĂŽVictor BasilSaidBasil, Victor Said. Manhaj al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-GhazâlĂŽ. Beirut Dâr al-Kitâb al-LubnânĂŽ, al-Tasawwuf al-IslâmĂŽ. Cairo Dâr al-Ma " ârfBasyĂťnĂŽ IbrahĂŽmNasyBasyĂťnĂŽ IbrahĂŽm. Nasy " ah al-Tasawwuf al-IslâmĂŽ. Cairo Dâr al-Ma " ârf, fi Nazri al-GhazâlĂŽ. Cairo Dâr al-Ma"ârifSulaimân DunyâDunyâ, Sulaimân. Al-HaqĂŽqah fi Nazri al-GhazâlĂŽ. Cairo Dâr al-Ma"ârif, al-GhazâlĂŽ wa Alâqaha al-YaqĂŽn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr alMuhammad FayĂťmĂŽFayĂťmĂŽ, Muhammad IbrâhĂŽm al-. al-Imâm al-GhazâlĂŽ wa " Alâqaha al-YaqĂŽn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr al" ArabĂŽ, " inda MufakkirĂŽ al-MuslimĂŽn. Cairo al-Dâr al-MisiriyahMuhammâd GhallâbMaGhallâb, Muhammâd. al-Ma " arifah " inda MufakkirĂŽ al-MuslimĂŽn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, HamĂŽd al-al-Adab fi al-DĂŽnGhazâlĂŽGhazâlĂŽ, AbĂť HamĂŽd al-al-Adab fi al-DĂŽn. Beirut al-Maktabah al-Syu " biyah, al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981.
Jakarta NU Online Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengatakan, kenikmatan terhebat yang mampu dirasakan di muka bumi adalah ma'rifatullah (mengenal Allah). "Kesadaran bagi para sufi bahwa hal yang paling nikmat adalah ma'rifatullah," jelas Gus Ghofur saat mengisi acara riyadhoh dan doa bersama yang diinisiasi PP Muslimat NU
ďťżUNIVERSITAS PANCA SAKTI BEKASINama Anjani MWNIM 1882050036MK PAI I Dosen Pengampu Son Haji, soal dan Jawaban Hubungan antara Manusia dan Agama 1. Manusia adalah makhluk paling istimewa adalah salah satu ciri manusia yang dikutip dari?a. QS. 954 b. QS. 7172 c. QS. 230 d. QS. 432 e. QS. 527 2. Manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan ke dunia untuk menjadi khalifah. Apa tujuan hidup manusia di dunia? a. Menjadi Perwakilan b. Bersenang senang c. Berbuat maksiat d. Beribadah e. Mentaati peraturan 3. Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, dan tanpa ada keraguan sedikit pun disebut? a. Tauhid b. Tasawuf c. Akidah d. Fiqh e. Akhlak 4. Suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya disebut? a. Fitrah b. Rezeki c. Nafsu al hawa d. Cita-cita e. Qalb 5. Faktor-faktor kebutuhan terhadap agama dan perannya dalam kehidupan manusia yang benar adalah⌠a. Kebutuhan akal terhadap pengetahuan tentang hakikat terbesar dan tunggal b. Kebutuhan Sandangc. Kebutuhan Pangan d. Kebutuhan Papane. Kebutuhan Ekonomi 6. Dalam konsep apakah fungsi manusia sebagai makhluk social?a. Konsep Bani Adamb. Konsep An-Nass c. Konsep Al-Insan d. Konsep al-Basyr e. Konsep Al-Ins 7. Menurut agama ada beberapa aspek dalam penyebutan nama pada manusia, kecuali⌠a. Aspek Historis b. Aspek Biologis c. Aspek Kecerdasan d. Aspek Sejarah e. Aspek Sosiologis 8. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber⌠a. Kekuatan b. Kenikmatanc. Moral yang baik dan muliad. Kejayaane. Biologis 9. Di dalam agama manusia akan bertanggung jawab atas âŚâŚ dirinya di akhirat. a. Rezekib. Jodohc. Mautd. Nikmate. Perbuatan10. Akal disebut nous atau logos berdasarkan bahasa⌠a. Yunanib. Moresc. Ethosd. Khuluk e. Jerman10 soal dan Jawaban Hubungan dengan Maârifatul Insan 1. 1. ââŚDia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang berbuat demikian itu adalah AllahâŚâ Az-Zumar 6 Tiga kegelapan yang dimaksud ayat tersebut adalah...a. Kegelapan dalam perutb. Kegelapan dalam Rahimc. Kegelapan dalam selaput yang menutup dalam janin dan Rahimd. a,b,dan c betul semuae. tidak ada yang betul 2. Ayat Al-Quran yang menggambarkan proses penciptaan manusia adalah... a. QS. Al-Mukminun 12-14b. QS. Az-Zumar 6c. QS Al-Hajj 5d. QS Shaad 72 e. QS Yusuf 3 3. 3. Zat yang tak terlihat, tetapi hakekatnya itu terasa eksistensinya dalam jiwa manusia merupakan pengertian dari... a. Jasadb. Ruhc. Akald. Fisike. Pikiran 4. 4. âSesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.â At-Tin 4Merupakan Firman Allah SWT yang terdapat pada keistimewaan manusia dari segi... a. Ilmub. Kehendak untuk memilihc. Penciptaand. Kedudukane. Jabatan 5. 5. âAr-Rahman yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.â Merupakan firman Allah SWT yang berisi mengenai keistimewaan manusia dari segi.... a. Kempuan bicarab. Kedudukanc. Ilmud. Penciptaane. Jabatan 6. 6. Menurut soal diatas, firman tersebut terdapat dalam surah... a. Al-Insan 3b. Al-Baqarah 29c. Bani Israâil 70d. Ar-Rahman 1-4e. QS Shaad 727. 7. ada empat misi diciptakannya manusia di bumi ini, kecuali... a. Misi Peradaban Al Imarahb. Sebagai Pemimpin di Muka Bumi khalifah fil ardhic. Melakukan perintah Nyad. Beribadah Kepada Allah SWTe. Mengerjakan larangannya 8. 8. Hati, Akal dan Jasad adalah unsur?a. Tubuhb. Bagianc. Manusiad. Tumbuhane. Hewan 9. 9. Manusia mendapatkan kepercayaan dari Allah untuk mewakili kekuasaan-Nya di bumi sebagai khalifah, apa yang dimaksud dengan khalifahâŚa. Perwakilanb. Peralihanc. Pendatangd. Kemajuane. Kebaikan 10 10. Fasilitas tambahan yang hanya diberikan kepada manusia yang bertakwa, kecualiâŚa. Rahmatb. Furqaanc. Keberkahand. Ke-Mudharat ane. Rezeki10 soal dan jawaban tentang Etika Moral dan Akhlak1. Sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Berikut adalah pengertian dari?a. Akhlakb. Perilakuc. Morald. Etikae. Pikiran 2. Etika itu bersifat?a. Khusus b. Umumc. Lokald. Perorangane. Tidak perlu 3. Akhlak berasal dari kata? a. Yunani b. Moresc. Ethosd. Khuluke. Jerman 4. Etika dibagi atas dua macam. Yaitu? a. Normatif dan Obyektivismeb. Subyektivisme dan Deskriptifc. Obyektivisme dan Subyektivismed. Etika Deskriptif dan Etika Normatife. Baik dan benar 5. Berikut adalah akhlak kepada Allah. Kecuali? a. Soudzonb. Berzikirc. Beribadahd. Tawakal e. Beramal6. Standar baik dan buruknya moral dapat dilihat berdasarkan? a. Sunnah Rasul b. Al-Qur'an c. Adat istiadat d. Akhlak e. Perilaku 7. 7. Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Adalah pengertian etika dari segi?a. Kamus Besar Bahasa Indonesib. Istilahc. Etimologid. Al-Qur'ane. Hakikat8. 8. Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua. Yaitu? a. Normatif dan Obyektivismeb. Subyektivisme dan Deskriptifc. Obyektivisme dan Subyektivismd. Deskriptif dan Normatif e. Baik dan Buruk9. arti dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Adalah pengertian dari? a. Akhlak b. Perilakuc. Morald. Adate. Pikiran10. Moral berasal dari bahasa Latin. Yaitu? a. Yunani b. Mores c. Ethos d. Khuluk e. Jerman TERIMA KASIH
pengentanya tentang motivasi pean ngapalno Qur'an, piye za? Tujuanku, cita-citaku semenjak abah meninggal bahagiakno ibuk. Motivasiku yo karena ibuk. Pas iku ibu dateng ke kamarku pas masih ndek ma'had, terus ibuku ndelok konco kamarku sing ngapalno Qur'an ndek luar kamar. Terus ibu bilang "seneng yo ndeloke" ngunu.
Oleh Khaerunnisa Taqiyah Mahasiswa STEI SEBI [email protected] MAâRIFATULLAH berasal dari bahasa arab yaitu yaitu mengetahui atau mengenal, maka dari kata ini kita sudah dapat menyimpulkan maârifatullah adalah mengenal Allah SWT. Mengapa kita harus mengenal Allah? Seperti dalam pepatah Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Kenapa bisa seperti itu? Karena pada dasarnya Setiap pada diri manusia ketika masih di dalam rahim mereka sudah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Seperti dalam firmanNya yang artinya âMaka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.â QS. Ar-Rum 30 Maka dari itu kita sebagai seorang muâmin yang taat harus bisa mengenal Allah SWT. Tuhan kita, Rabb kita, sang Khaliq yang menciptakan kita, dunia dan seluruh isinya. Mengapa kita harus mengenal allah? Lagi-lagi pertanyaan ini keluar kembali, Karena dengan mengenal Allah SWT. Iman kita ter-charger, iman itu butuh di charger salah satunya dengan cara mengenal Allah. BACA JUGA Hidayah Hanya Milik Allah, Kita Tak Punya Kuasa Mengubah Seseorang Lalu dengan mengenal Allah SWT, kita akan merasa lebih dekat kepada-Nya, dan akan berdampak pada ibadah kita nantinya. Contohnya kita menjadi lebih khusyuk dalam shalat, rajin bersedekah, dan mungkin juga yang tadinya tidak melaksanakan shalat sunnah menjadi melaksanakannya, dan lain sebagainya. Bagaimana cara maârifatullah? Apa saja tahap-tahap maârifatullah? Yaitu dengan menanam keyakinan kepada Allah SWT. Sebelum saya menjelaskan tentang menanam keyakinan kepada Allah SWT, saya ingin bertanya, apakah teman-teman sekalian tahu rukun iman? Ada berapakah rukun iman itu? Mengapa saya bertanya tentang ini?? Saya akan menjawabnya dengan satu persatu, tapi tidak dengan pertanyaan pertama Karena pertanyaan itu untuk teman-teman sekalian. Saya langsung saja menjawab pertanyaan kedua, rukun iman itu ada 6, Karena rukun iman itu adalah salah satu tahap atau cara untuk mengenal Allah SWT. Rukun iman yang pertama adalah Iman Kepada Allah SWT. Iman Kepada Allah SWT, ketika kita bilang iman kepada Allah SWT, maka kita haruslah mentaati akan perintah allah dan menjauhi larangannya. Iman yang berati percaya, percaya kepada Allah SWT. Bahwa Allah SWT itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Seperti dalam firmannya âAllah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.â QS. Al-Ikhlas 3 Bagaimana cara mengenal Allah SWT dengan rukun islam yang pertama ini? Agar kita bisa mengenal dan mengetahui Allah SWT lebih dekat yaitu dengan cara Mengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik Allah Mengetahui dan mengamalkan Sifat-sifat Allah Mengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik Allah Asmaul Husna yang artinya nama-nama baik Allah itu ada 99, yang berarti Allah memiliki 99 nama-nama yang baik bagi Allah. Contohnya Al-khaliq artinya yang Maha Menciptakan, Ar-razaq artinya yang Maha Pemberi Rizki, Al-Ghafuur artinya yang Maha Memberi Pengampun. Istilah Asmaul Husna Husna juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam surah Thaha ayat 8 yang artinya âDialah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Dia mempunyai Asmaaâul Husna nama-nama yang baik. â QS. Thaha 8 Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa sudah sangatlah jelas Allah SWT memiliki 99 nama-nama yang baik, dan dari nama-nama yang baik itu kita bisa memuji-Nya untuk menyembah kepada Allah SWT yang berhak disembah selain-Nya. Baca juga 99 Asmaaâul Husna. Mengetahui dan mengamalkan sifat-sifat Allah SWT Telah kita ketahui bahwa Allah SWT itu mempunyai sifa-sifat yang wajib kita ketahui yaitu terdiri dari sifat wajib bagi Allah SWT, sifat mustahil bagi Allah SWT, dan sifat jaiz bagi Allah SWT. Masing-masing sifat ada 20 yang wajib kita ketahui kecuali sifat jaiz bagi Allah SWT yang memiliki 1 sifat, dan dalam pendapat yang lain itu ada 3. Baca juga asma dan sifat Allah SWT. Rukun iman yang kedua adalah iman kepada para malaikat Allah SWT Iman Kepada para malaikat Allah SWT dengan cara kita mentaati perintah Allah SWT, seperti halnya para malaikat yang selalu berbuat kebaikan, dan menjauhi larangan-Nya seperti mereka yang tak pernah melakukan kesalahan, membantah apalagi menunda sesuatu tanpa perintah Allah SWT. Iman Kepada para malaikat Allah SWT, walaupun kita tak dapat melihat mereka tapi kita harus meyakini bahwa malaikat itu ada dan diciptakan dari cahaya dan bukan Karena itu kita mengingkari adanya mereka, Karena Allah-lah yang menciptakan mereka. Baca juga iman kepada malaikat Allah SWT Rukun iman yang ketiga yaitu iman kepada Rasul-rasul Allah SWT Iman Kepada Rasul-rasul Allah SWT, yaitu percaya kepada mereka para rasul-rasul Allah SWT. Mengikuti dan menaâati apa yang di perintahkan Allah padanya, menjauhi dan menghindari segala larangan-Nya. Rasul-rasul Allah juga hanyalah manusia biasa, mereka juga memiliki hawa nafsu, akal, pikiran dan hati yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga merasakan artinya lapar dan dahaga. Yang membedakan diri mereka dan kita adalah mereka orang-orang yang terpilih, terpelihara, terjaga, tertinggi derajatnya dibandingkan dengan manusia biasa seperti kita. Maka dari itu kita harus Mengikuti dan menaâati perintah mereka, juga menjauhi dan menghindari larangan mereka.. Baik yang tertera dalam al-qurâan maupun yang hanya terucap dalam lisan maupun terlakukan oleh perbuatan. Baca juga iman kepada Rasul-rasul Allah SWT. Rukun iman yang keempat yaitu iman kepada kitab-kitab Allah SWT Iman kepada kitab-kitab Allah SWT, percaya adanya kalamullah, yang di turunkan dan di sampaikan oleh rasul-rasul Allah, maksud dalam hal ini berarti percaya adanya larangan Allah, perintah Allah, ancaman dan pahala, adanya hukum syariat yang berada dalam kitab tersebut, terutama kitab Al-Qurâan. Al-Qurâan wajib kita mengenalnya, mengenalnya dalam artian bisa membaca Al-Qurâan dan mengamalkannya, juga menghafalkannya jika memang mampu. Baca juga iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Rukun iman yang kelima adalah iman kepada qadha dan qadhar Allah SWT Iman kepada qadha dan qadhar, percaya kepada ketetapan Allah SWT, adalah salah satu wujud dalam maârifatullah percaya bahwa ketetapannya adalah salah satu pilihan yang terbaik untuk diri kita, terkadang manusia telah merencanakan tapi rencana Allah SWT. Adalah yang lebih baik, terkadang manusia menginginkan sesuatu yang menurut mereka itu baik untuk dirinya tetapi belum tentu menurut Allah itu baik untuk dirinya. Ketetapan Allah SWT ada yang bisa dirubah atau qadha yaitu seperti halnya kecerdasan. Pada dasarnya manusia itu dilahirkan tidak mengetahui apa-apa. Maka manusianya sendirilah yang akan membuat diri mereka menjadi pintar, cerdas, maupun bodoh. Tergantung bagaimana keinginan merekanya dan usahanya sendiri, jika mereka ingin tetapi tak ada usaha maka manusia tak akan memiliki perubahan pada dirinya, karena ulah mereka yang tak mau berusaha. BACA JUGA Semakin Mengenal Allah Semakin Kita Haus Kasihsayang-Nya Lain lagi dengan ketetapan Allah SWT. Yang tidak bisa dirubah atau qadhar seperti kematian, jodoh, dan ketika kita dilahirkan ke dunia kita tidak bisa memilih apa jenis kelamin kita, orang tua kita siapa, miskin kah⌠kaya kah⌠Semua itu tidak bisa kita ubah ketika kita terlahirkan, namun ketika kita sudah besar, sudah berilmu kita bisa saja mengubah yang tadinya hidup serba kekurangan menjadi berkecukupan. Karena usaha dan ikhtiar yang telah kita lalui. Jika kita tidak percaya dan tidak menerima semua ketetapan Allah SWT maka kita termasuk orang yang tidak beriman kepada Allah, kenapa? Karena itu salah satu cara mengenal Allah, beriman kepada allah adalah dengan percaya kepada ketetapan-Nya dan menerima-Nya pula. Terakhir cara untuk mengenal Allah SWT lebih dalam adalah dengan beriman kepada hari akhir. Beriman dan meyakini bahwa adanya hari akhir dan hari pembalasan adalah salah satu bukti bahwa kita hamba yang bertaqwa. Berikut adalah fase-fase hari akhir kiamat Yaumul barzakh= hari penantian di alam kubur Yaumul qiyamah= hari kiamat Yaumul baâats= hari pembangkitan Yaumul hasyr= hari berkumpulnya di padang mahsyar Yaumul hisab= hari perhitungan Yaumul mizan= hari penimbangan amal Yaumul jazaâ= hari pembalasan Dari semua ini bahwasannya menuntun kita agar bisa lebih mengenal Allah SWT. Tuhan semesta alam, agar kita bisa memuhasabah diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik dalam segi ketauhidan, ibadah, maupun keimanan. Untuk dalil rukun iman ini ada dalam firman Allah SWT yang artinya âAdapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah.â QS. Al-Kahfi 88. [] OPINI adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke [email protected], paling banyak dua 2 halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.
swt (ma'rifatullah). Ma'rifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadits atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw.5 Kata ma'rifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-
At Tauhid edisi V/9 Oleh Muhammad Nur Ichwan Muslim Mengenal Allah, Rabbul alamin merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat dalam kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa maârifatullah mengenal Allah adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah taâala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, âSaya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.â Al Fath, 1/89. Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, âPribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam maârifatullah mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.â Al Fawaa-id, hal. 150. Maârifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, âSiapakah ahli maârifah tersebut?â atau âBagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli maârifah?â Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az Zurâi yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau mengatakan, âAl arif orang yang mengenal Allah dengan benar menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah taâala dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlasâŚâ Madaarijus Saalikin, 3/337. Pernyataan beliau di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia mengimani berbagai nama dan sifat-Nya dengan ilmu pengetahuan yang dapat menghilangkan kebodohan terhadap Rabb-nya. Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, âPengetahuan pengenalan hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan ubudiyah kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan kepada-Nya akan semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah dengan merealisasikan seluruh kandungan nama dan sifat-Nya.â Muâtaqad Ahlis Sunnah wal Jamaâah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah maârifatullah. Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jamaâah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus sunnah wa jamaâah dalam hal ini adalah meneliti semua dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa merusaknya dengan cara mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah yang akan menghantarkan seorang kepada maârifatullah yang benar. Ketika ia mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat yang sempurna dan agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan berbagai sifat tersebut dengan makna-makna yang batil. Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafiâi dalam Tafsirnya 2/294 mengatakan, âSesungguhnya dalam permasalahan ini pembahasan mengenai nama dan sifat Allah kami meniti menempuh madzhab salafush shalih, yaitu jalan yang ditempuh juga oleh imam Malik, Al Auzaâi, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Saâd, Asy Syafiâi, Ahmad, Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka, baik di masa terdahulu maupun di masa ini. Madzhab mereka dalam permasalahan ini adalah membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat, tasybih menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk dan taâthil menolak sifat bagi Allah. Segala bentuk gambaran sifat yang terbetik dalam benak kaum musyabbihin golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk tertolak dari diri Allah. Tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.â QS. Asy Syura 11. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam, diantara mereka adalah Nuâaim bin Hammad Al Khazaâi, guru imam Al Bukhari. Beliau mengatakan, âBarangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia juga telah kafir. Segala sifat yang ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya, seorang yang menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang tegas dan hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh jalan hidayah.â Beberapa Faktor yang Menghalangi Maârifatullah Maârifatullah terhalang dari diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan menentang berbagai nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mengakui berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di dalamnya bisa mengenal Allah taâala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah taâala berkata, âBarangsiapa yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.â Al Hamm wal Hazn Ihya Ulumid Diin, 4/295. Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, âTatkala pujian dan sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka pengingkaran terhadap nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad kriminalitas dan kekufuran terbesar kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang muâaththil menafikan nama dan sifat-Nya lebih buruk daripada seorang musyrik, karena kondisi seorang musyrik tidaklah sama dengan derajat orang yang menentang berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela sifat yang Dia miliki dan menyamakan/menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Maka, pada hakikatnya kelompok muâaththil golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya adalah musuh sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan taâthil, karena jika tidak dilatarbelakangi oleh taâthil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.â Madaarijus Saalikin, 3/347. Berikut beberapa bentuk ilhad kriminalitas terhadap Allah yang terkait dengan nama dan sifat-Nya, kami sajikan secara ringkas kepada anda dikarenakan keterbatasan ilmu kami. Pertama, menyerupakan menganalogikan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah taâala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil mengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, âTidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.â QS. Asy Syuura 11. âMaka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah yang kamu serupakan dengan-Nya.â QS. An Nahl 74. Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan. Kedua, menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib keinginan untuk memberi pahala. Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah taâala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah taâala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nuâaim bin Hammad Al Khazaâi, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas! Demikian pula, alasan di atas dapat dibantah secara logika bahwa kesamaan nama suatu sifat tidak berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah pendengaran dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki hakikat dan bentuk yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak. Ketika Dia menetapkan sifat mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya, maka meskipun sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk tentu hakikat sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya. Sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk yang dipenuhi kekurangan. Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah bentuk/cara bagi sifat Allah taâala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah taâala. Contoh praktisnya semisal perkataan, âTangan Allah itu panjang dan besarnya sekianâ. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah taâala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?! Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabiâah ditanya mengenai hakikat sifat istiwa bersemayam Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, âIstiwa diketahui maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar dijangkau oleh logika. Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah bidâah.â [Lihat perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul Iâtiqad Ahlis Sunnah wal Jamaâah 3/398; Itsbat Shifatil Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lumâatul Iâtiqad hal. 64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi; Idlohud Dalil fii Qathâi Hujaji Ahlit Taâthil hal. 14 Muhammad bin Ibrahim bin Saâad bin Jamaâah; Al Iâtiqad hal. 116 Ibnul Husain Al Baihaqi; Al Ulum li Aliyyil Ghaffar hal. 129 Adz Dzahabi. Urgensi dan Kesalahan dalam Maârifatullah Berbagai tindakan di atas merupakan perbuatan yang akan menghalangi seorang hamba untuk mengenal Zat yang harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan membuat seorang mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau bahkan menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup pembahasan kita ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya memahami permasalahan nama dan sifat Allah taâala karena sangat terkait dengan maârifatullah pengenalan terhadap Allah. Beliau mengatakan, âMengimani dan mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat makna bagi sifat tersebut, keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan pengaruh sifat tersebut merupakan jalan awal, pertengahan dan tertinggi untuk mengenal-Nya. Hal ini merupakan ruh bagi para saalikin orang-orang yang berjalan menuju Allah, kendaraan yang akan menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah semangat ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka menuju Allah bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan mereka. Setiap orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu menempuh perjalanan. Dan ketahuilah bekal terbaik adalah pengetahuan terhadap sifat Zat yang dicintai dan itulah puncak keinginan mereka.â Madaarijus Saalikin, 3/350. Beliau melanjutkan, âSesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdoâa kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati seorang untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan kadar maârifah pengenalan hati terhadap sifatnya.â Madaarijus Saalikin, 3/351. Demikianlah pembahasan kita kali ini, besar harapan kami uraian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya. Wa shallallahu ala Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi wa sallam. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
JzSRWb. 475 131 32 220 275 153 78 345 164
pertanyaan tentang ma rifatullah